Apakah maksud dari keadilan sebagai syarat poligami?

Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh.

.
Apakah Maksud dari
Keadilan sebagai Syarat
Poligami?

Dalam surat An-Nisa' [4], ayat 3
kita membaca,

"... Kemudian, jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka [kawinilah]
seorang saja ...."

Demikian juga pada surat yang sama, ayat 129 difirmankan,
"Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat berlaku adil di antara
istri-istri[mu]walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."

Pertanyaannya, apakah maksud dari keadilan dalam poligami ini?
Apakah keadilan di sini hanya berhubungan dengan kehidupan,
seperti tidur seranjang, fasilitas hidup dan kemudahan-kemudahan materi, ataukah ia
juga mencakup urusan-urusan hati, kecintaan, dan kelembutan emosi?

Tidak syak lagi bahwa keadilan dalam kasih sayang dan cinta di
luar kemampuan manusia.

Siapakah orang yang mampu mengontrol cinta dan kasih
sayangnya sedangkan unsur-unsur kasih sayang itu sendiri
berada di luar dirinya?

Atas dasar inilah Allah tidak memasukkan keadilan yang
semacam ini sebagai sebuah kewajiban.

Masih lanjutan ayat di atas, Allah berfirman,

"Dan kamu sekali-sekali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri[mu]walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."

Oleh karena itu, selama kasih sayang batin tidak akan menyebabkan diprioritaskannya
sebagian istri di atas sebagian lainnya, tidaklah dilarang. Yang
wajib untuk dilaksanakan oleh
pria adalah kepeduliannya dalam
menegakkan keadilan secara lahiriyah.

Dengan penjelasan ini, jelas bahwa orang-orang yang mengambil kesimpulan dengan
menggabungkan ayat 3 dan ayat 129 dari surat An-Nisa' bahwa
poligami di dalam Islam dilarang secara mutlak, dengan dalil bahwa dalam ayat pertama
disyaratkan keadilan dan pada ayat kedua,

syarat keadilan ini
tidak lagi mungkin dipenuhi oleh
pria, sungguh mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang besar.

Karena, sebagaimana yang telah diisyaratkan sebelumnya,keadilan yang berada di luar
kemampuan manusia adalah keadilan dalam urusan hati dan
batin, dan ini bukanlah bagian syarat poligami.

Yang menjadi syarat keadilan di sini berkaitan dengan hal-hal yang zahir dan
praktis.

Dalil atas ini adalah akhir ayat 129 dari surat ini:

"Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu
cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung ...."

Kesimpulannya, orang-orang yang menyoroti sebagian ayat ini dan
melupakan sebagian lainnya akan terdampar dalam kesalahan
ketika menghadapi persoalan poligami;

kesalahan yang yang
sangat mengagetkan bagi setiap pengkaji.

Kebetulan riwayat-riwayatIslam menjelaskan bahwa orang pertama yang melancarkan hujatan terhadap poligami adalah Ibnu Abil Auja', seorang ateis materialis pada zaman Imam Ash-Shadiq yang melontarkan kritikan ini kepada Hisyam bin Hakam, seorang
ilmuwan mujahid Islam dan sahabat beliau.

Hisyam yang
tidak menemukan jawaban dari pertanyaan Ibnu Abil Auja' ini keluar dari kota Kuffah menuju
ke Madinah untuk mendapatkan jawaban dari Imam .

Ketika melihat kedatangan Hisyam di
luar musim haji dan umrah ini,
beliau terheran-heran.Akan tetapi, setelah ia mengutarakan
pertanyaan tersebut, Imam Ash-
Shadiq memahaminya.

Dalam jawabannya, beliau berkata,

"Maksud dari keadilan
dalam surat An-Nisa', ayat 3 adalah keadilan dalam memberi
nafkah (memperhatikan hak-hak istri, perbuatan, dan perlakukan terhadap istri).
Akan tetapi,maksud dari keadilan pada ayat
129 yang dianggap mustahil adalah keadilan dalam hasrat
dan kasih sayang.

(Oleh karena itu, poligami, bukanlah suatu hal yang dilarang dan bukan pula
suatu hal yang mustahil selama menjaga persyaratannya)."

Ketika Hisyam kembali lalu memberikan
jawaban ini kepada Ibnu Abil Auja', ia bersumpah bahwa jawaban Hisyam ini bukanlah dari
dirinya sendiri, tetapi ia
mendapatkannya dari orang lain.

Dengan ini jelaslah bahwa apabila kata keadilan pada
kedua ayat itu diartikan dengan dua arti yang berbeda, ini lantaran adanya indikasi yang
sangat jelas yang terdapat di dalam kedua ayat tersebut.

Karena pada penjelasan ayat tersebut secara tegas dikatakan
bahwa

"janganlah Kamu tujukan keseluruhan kasih sayang kalbu
Kamu hanya pada satu istri".

Dengan demikian, pria memiliki lebih dari satu istri dibenarkan
dengan syarat; ia tidak
melakukan kedzaliman terhadap salah satu dari mereka secara
praktis, meskipun dari sisi perasaan batin ia terikat secara
berbeda kepada tiap-tiap istrinya.

Di permulaan ayat 3
surat tersebut, secara tegas dibolehkan praktik poligami


Post a Comment

0 Comments