Filsafat hukum pelarangan menikah dengan muhrim

Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh.

Apakah Falsafah
Haramnya Nikah dengan
Muhrim?

Dalam surat An-Nisa' [4], ayat 23
difirmankan,

"Diharamkan atas
kamu [mengawini] ibu-ibumu,
anak-anak wanitamu, saudari-
saudarimu, saudari-saudari
bapakmu, saudari-saudari
ibumu, anak-anak wanita dari
saudara-saudarapriamu, anak-
anak wanita dari saudari-
saudarimu, ibu-ibu susumu,
saudari sepersusuanmu, ibu-ibu
istrimu [mertua], anak-anak
wanita istri-istrimu yang ada
dalam tanggungjawabmudari
istri yang telah Kamu campuri;
akan tetapi apabila Kamu belum
mencampuri istri-istrimu [dan
telah Kamu cerai], maka tidak
ada dosa bagi Kamu untuk
mengawininya, [dan diharamkan
bagi Kamu] istri-istri dari anak
kandung Kamu [menantu],
demikian juga diharamkan bagi
Kamu menghimpunkan [dalam
perkawinan] dua orang wanita
yang bersaudari, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau.
Sesungguhnya Allah
Mahapengampun lagi
Mahapenyayang."

Dari sini, muncul sebuah
pertanyaan, apakah filsafat
diharamkannya pernikahan
muhrim?

Di ayat di atas, telah diisyaratkan
tentang pelarangan menikah
dengan para muhrim dan wanita-
wanita muhrim berdasarkan
prinsip keharaman tersebut bisa
dikelompokkan dalam tiga
kelompok:

a. Kemuhriman yang disebabkan
oleh "kelahiran" yang disebut
dengan "hubungan nasabî".

b. Kemuhriman yang disebabkan
oleh "pernikahan" yang
dinamakan "hubungan sababî".

c. Kemuhriman yang disebabkan
oleh "sepersusuan "yang disebut
dengan "hubungan radha'î".

Kelompok pertama,

muhrim
nasabi terdiri dari tujuh orang.
Allah berfirman,

"Diharamkan
atas kamu [mengawini] ibu-
ibumu, anak-anak wanitamu,
saudari-saudarimu, saudari-
saudari bapakmu, saudari-
saudari ibumu, anak-anak wanita
dari saudara-saudarapriamu,
anak-anak wanita dari saudari-
saudarimu ...."

Harus diperhatikan bahwa
maksud dari "ibu" di sini bukan
hanya wanita yang telah
melahirkannya, tetapi juga ibu-
nya ibu (nenek dari pihak ibu),
ibu-nya ayah (nenek dari pihak
ayah), dan ibu-nya nenek (dari
kedua belah pihak) dan yang
sestatus mereka.

Demikian juga,
yang dimaksud dengan "anak-
anak wanitamu" bukan hanya
anak wanita yang tanpa
perantara, tetapi juga anak
wanita sendiri, anak wanita dari
anak-anak prianya, anak wanita
dari anak-anak wanitanya serta
anak-anak mereka, dan demikian
pula dengan kelima kelompok
yang lainnya.

Jelas bahwa semua orang secara
kodrat tidak menyukai
perkawinan semacam ini. Atas
dasar inilah semua kaum dan
bangsa (kecuali beberapa
individu saja) telah mengetahui
keharaman menikah dengan
muhrim.

Bahkan, kaum Majusi
sendiri di buku-buku pegangan
mereka memberikan izin
terhadap perkawinan sesama
muhrim, tetapi saat ini mereka
telah menolak hal tersebut.
Meskipun sebagian orang
mengupayakan bahwa
perkawinan semacam ini
bersumber dari sebuah tradisi
dan kebiasaan kuno, akan tetapi
kita tahu bahwa kemutlakan
sebuah hukum yang ada di dalam
masyarakat pada kurun dan
waktu yang demikian lama
biasanya menunjukkan kefitrahan
hukum itu sendiri.

Karena, tradisi
dan budaya tidak akan bisa
menjadi suatu hal yang universal
dan kekal.

Lebih dari itu, pada saat ini telah
terbukti bahwa perkawinan yang
dilakukan dengan muhrim akan
menimbulkan berbagai macam
bahaya pada masing-masing
individu yang melakukannya.

Dengan perkawinan semacam
ini, penyakit-penyakit yang
tadinya tersembunyi dan
merupakan sebuah penyakit
keturunan dalam diri seseorang,
akan menjadi tersingkap dan
semakin berpotensi (dan
bukannya hal itu akan melahirkan
penyakit baru). Bahkan, sebagian
orang berpendapat, bukan hanya
pada perkawinan antar muhrim,
bahkan perkawinan dengan
keluarga yang nasabnya lebih
jauh dari itu, seperti dengan
anak-anak paman pun tidak baik
bagi mereka, dan mereka
berkeyakinan bahwa hal ini akan
semakin memperparah penyakit-
penyakit keturunan yang telah
ada.

Akan tetapi, apabila
masalah ini di dalam sanak famili
yang jauh tidak menimbulkan
masalah (dan memang demikian
yang biasanya terjadi), tetapi
pada perkawinan sesama
muhrim pasti menimbulkan
problem.

Selain itu, di antara sesama
muhrim biasanya tidak terdapat
daya tarik dan gairah seksual,
karena biasanya mereka tumbuh
besar secara bersama-sama dan
antara mereka terdapat
hubungan keakraban yang sangat
dekat sehingga menganggap
hubungan mereka sebagai
hubungan biasa.

Hal-hal yang
langka tidak dapat dijadikan
sebagai tolok ukur sebuah hukum
universal. Dan kita pun tahu
bahwa daya tarik seksual
merupakan syarat bagi keeratan
ikatan perkawinan. Oleh karena
itu, apabila terjadi perkawinan
antara sesama muhrim, maka
yang akan terjadi adalah sebuah
perkawinan yang lemah dan tidak
abadi.

Kemudian, ayat selanjutnya
mengisyaratkan muhrim radha'î
(sepersusuan) dan berfirman,

"...dan [diharamkan pula bagimu]
wanita yang menyusuimu, dan
saudari-saudariyang
sepersusuan denganmu ...."

Meskipun Al-Qur'an di dalam
ayat ini hanya menunjukkan dua
kelompok, yaitu wanita-wanita
yang menyusui dan saudari-
saudari sepersusuan,

akan tetapi
berdasarkan banyak riwayat yang
otentik, muhrim sepersusuan
tidak hanya terbatas pada dua
kelompok di atas, melainkan
berdasarkan hadis Rasulullah bersabda,

"Seluruh orang
yang dari sisi hubungan nasab
diharamkan, maka dari sisi
hubungan sepersususan pun
diharamkan."

Tentu saja, tolok ukur
sepersusuan yang bisa
menyebabkan kemuhriman,
demikian juga syarat-syarat
memerlukan banyak
pembahasan yang telah
termaktub di dalam buku-buku
fiqih.

Filsafat pengharaman menikah
dengan muhrim sepersusuan
adalah karena pertumbuhan
daging dan tulang mereka yang
telah tumbuh berkembang dari
susu seorang ibu susu sama
dengan susu yang telah
membesarkan anak-anak dari ibu
susu tersebut. Misalnya, seorang
anak yang disusui oleh seorang
ibu susu sehingga badannya
mengalami pertumbuhan yang
khas akan mempunyai kemiripan
dengan keseluruhan anak-anak
wanita tersebut, dan pada
hakikatnya, masing-masing
mereka berdua merupakan
bagian dari badan wanita
tersebut sehingga dengan
demikian, hubungan mereka
persis sama seperti hubungan
dua orang saudara yang senasab.

Di akhir ayat itu diisyaratan
tentang golongan muhrim yang
ketiga. Golongan ini pun memiliki
beberapa kelompok, yaitu:

a. "... ibu-ibu dari istri-istrimu ...."
Yaitu, begitu seorang pria
menikah dengan seorang wanita
dan mengucapkan akad nikah,
pada saat itu juga ibu wanita
tersebut dan ibu dari ibunya …
akan menjadi haram mutlak bagi
pria tersebut.

b. "... anak-anak wanita istri-
istrimu yang berada di dalam
tanggung jawabmu dari istri-istri
yang telah kamu campuri ...."
Yaitu, anak-anak wanita dari istri-
istri seseorang yang berada di
dalam tanggung jawabnya
dengan syarat ia telah melakukan
hubungan seksual dengan istri-
istri itu. Dengan kata lain, hanya
melakukan akad secara syar'i
dengan seorang wanita tidak
bisa menyebabkan anak wanita
(yang merupakan buah
perkawinan dari suami yang lain)
dari wanita tersebut secara
otomatis menjadi haram bagi
suaminya yang sekarang.

Tetapi,
selain telah melakukan akad
nikah, mereka juga telah tidur
bersama (melakukan hubungan
seksual). Adanya catatan (qaid)
khusus pada persoalan di atas
menekankan bahwa hukum
"ibunya istri" yang telah
disebutkan dalam pembahasan
sebelumnya tidak mempunyai
syarat sebagaimana syarat ini,
dan secara istilah, hal ini
memperkuat kemutlakan hukum
tersebut.

Meskipun lahiriah catatan "fî
hujûrikum" (yang berada di
dalam tanggung jawabmu)
memberi pemahaman bahwa
apabila anak perempuan istri
yang dihasilkan dari suami yang
lain tidak berada dalam tanggung
jawab suaminya tersebut berarti
anak wanita tersebut tidak
haram baginya, akan tetapi
dengan indikasi (qarînah) yang
ada dalam riwayat dan adanya
kejelasan hukum tentang
masalah ini menyebabkan
catatan ini bukanlah sebuah
"catatan pengecualian" (qaid
ihtirâzî),

tetapi menjelaskan poin
pengharaman. Hal itu lantaran
anak-anak wanita yang ibunya
menikah lagi biasanya masih
berada dalam usia kanak-kanak
dan berada di dalam tanggung
jawab suami barunya yang akan
membesarkannya sebagaimana
anaknya sendiri.

Sebenarnya ayat tersebut
mengatakan bahwa pada
dasarnya, posisi mereka ini
layaknya anak-anak perempuan
kamu sendiri. Apakah ada
seorang ayah mau menikah
dengan anaknya sendiri? Dengan
dalil ini pula nama rabâ'ib
dipilihkan bagi mereka, bentuk
plural dari rabîbah yang berarti;
telah terdidik.

Untuk menekankan topik ini,
kelanjutan dari ayat di atas
menambahkan bahwa apabila
mereka belum melakukan
hubungan badan dengan istri-istri
mereka, maka anak-anak
perempuan dari istri-istri mereka
tidak akan menjadi haram bagi
mereka.

"... akan tetapi, apabila kamu
belum mencampuri istri-istrimu
[dan kamu telah
menceraikannya], maka tidak
ada dosa bagi kamu untuk
mengawininya."

c. "...istri-istridari anak kandung
kamu [menantu] ...."
Pada hakikatnya, ungkapan "min
ashlâbikum" (anak-anak dari
keturunanmu) didasarkan pada
penetapan atas kebatilan salah
satu tradisi Jahiliyah, di mana
pada zaman tersebut telah
menjadi suatu kebiasaan pada
seseorang yang memilih seorang
anak sebagai anak angkat.

Yaitu,
mengambil anak yang
sebenarnya milik orang lain dan
dijadikan sebagai anaknya
sendiri. Pada masa itu, anak
angkat mempunyai keseluruhan
hukum yang dimiliki oleh anak
hakiki. Dengan dalil inilah mereka
enggan menikah dengan istri-isri
dari anak-anak angkat itu. Akan
tetapi, dalam norma Islam, anak
angkat tidak mempunyai hukum-
hukum seperti anak hakiki secara
keseluruhan.

d. "... dan [diharamkan bagi
Kamu] menghimpunkan [dalam
pernikahan] dua wanita yang
bersaudara ....

Yaitu, tidak dibenarkan bagi
seseorang untuk menikah dengan
dua wanita bersaudara dalam
satu masa. Oleh karena itu,
dibolehkan atas seseorang untuk
menikah dengan dua orang atau
lebih dari wanita bersaudara
pada zaman yang berbeda-beda
dan hal ini dilakukan setelah
berpisah dari saudara wanita
yang sebelumnya.

Di zaman Jahiliyah, menghimpun
dua wanita bersaudara dalam
satu pernikahan merupakan
suatu hal yang biasa terjadi dan
juga terdapat banyak individu
yang telah melakukan pernikahan
semacam ini. Oleh karena itu,
ungkapan tersebut, Al-Qur'an
melanjutkan

"illa mâ qad
salaf" (kecuali apa yang berlalu)

sehingga orang-orang yang -
sebelum turunnya hukum ini-
telah melakukan pernikahan
semacam itu tidak akan
mendapatkan balasan dan
siksaan, meskipun sekarang ia
harus memilih salah satu dari
kedua wanita bersaudara
tersebut dan melepaskan yang
satunya.
Mungkin rahasia mengapa Islam
melarang pernikahan semacam
ini adalah, bahwa dua wanita
yang bersaudara berdasarkan
hukum nasab dan ikatan batin
yang alami mempunyai ikatan
kasih sayang yang luar biasa
antara yang satu dengan yang
lainnya. Ketika mereka telah
berada dalam satu persaingan,
secara praktis mereka tidak akan
bisa mempertahankan rasa kasih
sayang yang ada sebelumnya.

Dengan demikian, akan terjadi
kontradiksi antara kasih sayang
dan persaingan di dalam diri
mereka, yang tentu saja hal ini
akan berdampak negatif dan
berbahaya bagi mereka. Karena,
pasti akan terdapat rasa kasih
sayang yang senantiasa
berhadapan dengan rasa
persaingan di dalam wujud
mereka yang -pada gilirannya-
akan memicu tejadinya pertikaian
di antara mereka.

insyaAlloh menambah pengetahuan kita


Post a Comment

0 Comments